Langkahku terhenti
saat memasuki ruangan itu. Mataku membulat saat melihat dia juga ada di ruangan
yang sama. Aku menjadi ragu melangkahkan kakiku. Aku berusaha memberanikan diri
karena aku tak mau melewatkan kesempatanku menjadi bagian dari event terbesar
di kampusku saat ini.
"Permisi......"
ucapku pada seisi ruangan. Semua menoleh padaku. Aku segera mengedarkan
pandanganku ke seisi ruangan dan sial, kursi yang tersisa tinggal kursi di
sebelahnya persis. Aku segera menduduki kursi itu. Dia yang sedari tadi nampak
asyik mengobrol dengan teman sebelahnya mulai menyadari kehadiranku. Wajahnya
terlihat kaget saat tau orang yang telah duduk di sebelahnya adalah aku.
"Eh...kok kamu
di sini?" tanyanya membuka pembicaraan.
"Menurutmu?"
jawabku ketus tanpa membalas tatapannya. Ia hanya tersenyum.
Sepanjang rapat
berjalan kami terdiam satu sama lain. Tapi aku merasa sepanjang itu pula dia
memerhatikanku. Sempat aku memergokinya memandangiku lekat-lekat lalu ia
langsung berpura-pura melihat ke arah yang lain. Aih, ingin rasanya aku segera
keluar dari ruangan ini.
***
"Cieeee yang
jadi panitia dies natalis kampuuuuuus udah pulang nih..." Lisa, teman satu
kosku yang juga teman satu kampusku menyambutku saat aku tiba di kos.
"Lebay ih kamu
Lis..." aku melempar tas ke salah satu sudut kamarku. Lalu kurebahkan
tubuhku yang lelah di atas kasur.
"Eits..sensi
amat... Gimana tadi rapatnya?" tanya Lisa yang kini ikut-ikutan merebahkan
tubuhnya di kasurku.
"Ada
kejutan..." jawabku asal.
"Maksudmu?"
"Aku satu tim
sama Putra..."
Mata Lisa langsung
terbelalak. Ia bangkit lalu mengguncang-guncangkan bahuku. "Hah serius
kamu May? Oh my God....CLBK nih hahahahahahahahahahahaha"
"Heh gak usah
pakai mengguncang bahu aku deh Lis..maksud kamu CLBK apa? Aku aja gak pernah
jadian sama dia.." aku menyenderkan tubuhku ke tembok sambil memalingkan
muka.
"Eh bukan Cinta
Lama Bersemi Kembali coy,tapi Cinta Lama Belum Kelar wahahahahaha" Lisa
tertawa puas. Aku hanya terdiam lalu
melototinya.
***
Lagu Officially
Missing You dari Tamia mengalun pelan di telingaku. Entah mengapa lagu itu
membuat ingatanku kembali ke masa awal aku masuk kampus, menjadi mahasiswa
baru. Aku masih ingat saat itu ada seorang mahasiswa baru yang sangat pendiam
di kelasku. Aku yang merasa penasaran lalu berusaha mendekatinya, aku berusaha
mencari tau bagaimana dia sebenarnya. Awalnya sangat sulit untuk membuatnya
berbicara tapi lama kelamaan akhirnya aku mulai sering mendengarnya bicara
bahkan menertawai leluconku yang garing. Sejak saat itu dia mulai berbeda,
bukan lagi mahasiswa baru yang pendiam dan tertutup dengan orang lain.
Aku menghembuskan
nafasku pelan. Lalu mulai memutar memori yang lain. Dia menjadi salah satu
teman yang saat itu benar-benar dekat denganku. Tiada hari tanpa pesan-pesan
singkatnya yang selalu memenuhi inboxku. Tiada malam yang terlewati tanpa
celotehannya di ujung telepon. Sejujurnya aku rindu saat-saat itu, tapi apa
daya semuanya telah berubah. Aku menjatuhkan mataku pada kalung berbentuk kunci
yang kugantungkan dekat kaca kamarku. Aku tidak pernah memakai kalung itu
sekalipun, aku membiarkannya tergantung disitu sejak pertama kali kalung itu
diberikan kepadaku.
"May kalau aku kasih kamu sesuatu ,bakalan
kamu terima gak?"
"Eh kok tanyanya gitu? Ya aku terima
lah...pemberian orang mana mungkin aku tolak, gak sopan itu namanya. Emang kamu
mau ngasih apaan?"
"Tapi beneran lho diterima.."
"Iya-iya udah sih mana? Bikin penasaran aja
sih..."
"Tutup matanya dulu dong...."
"Ah enggak mau...kaya apa aja sih tutup mata
segala..."
"Biar seru lah, biar surprise gitu."
"Pengen banget emang? Aku gak usah tutup mata..nanti ceritanya aku
pura-pura kaget aja ya.."
"Emang dasar kamu ya May...Nih.."
Seuntai kalung berbentuk kunci ada di depan mataku.
Aku menerimanya.
"Kok kayaknya ini kayak kalung couple gitu
ya?"
"Emang iya May. Ini aku bawa
pasangannya..." Ia menunjukkan kalung dengan bandul berbentuk gembok.
"Ini maksudnya apa? Berasa kayak anak SMP yang
lagi ngerti cinta-cintaan aja terus pakai kalung couple-an segala. Haha.."
"Bukan gitu May. Ini ada maksudnya...." Ia
menatapku serius. "Ini karena cuma kamu satu-satunya yang bisa ngerubah
aku, kamu yang bisa buat aku jadi berani menghadapi situasi yang baru bagi aku
May...kamu satu-satunya yang bisa ngebuka pintu hati aku yang tertutup selama
ini buat siapapun...."
"Put...." Saat itu aku benar-benar tidak
bisa berkata apa-apa. Aku hanya terdiam saat Ia memegang kedua tanganku.
"May, aku nyaman banget sama kamu karena saat
aku ada di sisi kamu saat itulah aku bisa bener-bener jadi aku apa adanya..Aku
sayang kamu May.."
"Makasih Put. Aku..aku gak tau harus ngomong
apa.."
"Kalau kamu emang ngerasain hal yang sama kaya
aku, lusa waktu aku tanding futsal kamu pakai kalungnya, tapi kalau enggak ya
kamu gak usah pakai kalungnya..."
Aku terlampau senang saat Putra memberikan kalung
itu dan mengungkapkan tentang perasaanya. Tapi semuanya harus sirna karena
sehari sebelum hari itu datang....
"May kamu kenal Putra?" tanya Ina. Teman
semasa kecilku yang fakultasnya ada di seberang fakultasku.
"Iya kenal lah,sefakultas juga. Kok kamu bisa
kenal dia In?"
"Iya kenal lah..." tiba-tiba raut muka Ina
berubah.
"In kamu kenapa?"
"Aku...." suara Ina berubah serak.
"In, kok muka kamu jadi sedih gitu. Ada apa?
Sini cerita sama aku..." kataku sambil mengelus punggung tangannya.
"Aku ngerasa bersalah sama Putra....aku nyesel
waktu itu udah nyakitin hatinya dia,May..."
"In..jangan bilang kalau kamu sama dia..?"
"Aku dulu sama Putra pacaran May, kita putus
gara-gara aku selingkuh sama temennya.."
Aku menutup mulutku,aku tercengang dengan semua
perkataan Ina.
"Aku denger semenjak itu dia jadi pendiem..aku
salah May udah ngecewain dia,cowok yang bener-bener tulus sama aku...ternyata
hubungan aku dengan temennya gak seharmonis hubungan aku sama Putra...dia gak
sebaik dan gak selembut Putra...aku nyesel May...."
"Kamu kapan putus sama Putra,In?"
"Sebelum
kita ujian masuk universitas May...Aku seneng banget May waktu tau kita
satu universitas dan aku dapet pencerahan waktu aku tahu kamu juga masuk satu
fakultas yang sama dengan Putra..."
Aku tak bisa
berkata-kata saat itu. Apalagi saat Ina memintaku membantunya untuk bertemu
dengan Putra. Ina mengatakan ia ingin meminta maaf dengan Putra. Ina juga
bilang sampai saat ini ia masih sayang sama Putra.
Saat hari
pertandingan tiba, aku mengajak Ina turut serta. Setelah pertandingan usai
dengan kemenangan telak tim fakultasku,aku turun menuju bangku pemain sambil
membawa Ina di belakangmu. Aku masih ingat betul wajah Putra nampak sumringah
dari kejauhan ketika aku berjalan menghampirinya. Wajahnya berubah seketika
saat melihat kalung pemberiannya tidak melingkar di leherku.
"May...."
"Engg...Put. Ini ada orang yang mau ketemu sama
kamu..." aku langsung menggiring Ina menuju ke hadapan Putra. Putra nampak
kaget saat itu.
"Halo, Put...." Ina menyapa Putra dengan
sedikit canggung.
"Ya udah aku tinggal dulu ya kalian berdua..."
aku langsung meninggalkan mereka berdua. Putra sempat memanggilku tapi aku tak
menghiraukannya. Aku segera berlari keluar dari lapangan. Aku lalu mencabut
kalung berbentuk kunci itu yang sedari tadi aku lingkarkan pada resleting
tasku.
Hatiku hancur saat
itu. Memang benar apa kata orang, dimana ada kebahagiaan pasti juga diiringi
dengan kesedihan. Ya seperti yang aku alami saat itu.
Aku sudah menutup
kenangan itu selama berbulan-bulan. Tapi secara tiba-tiba kenangan itu
menyeruak, membuka luka lama yang sudah sembuh. Kalau saja hari ini aku tidak
bertemu Putra, mungkin kenangan itu tidak akan terbuka lagi.
***
Keadaan memaksaku
untuk lebih sering bertemu dan berhadapan dengan Putra. Acara dies natalis ini
lah yang berhasil mencairkan kebekuan yang terjadi padaku dan Putra. Selama
menjadi panitia memang tak jarang aku berkomunikasi dengan Putra, tapi semua
itu aku lakukan hanya sebatas profesionalitas dan yang kami bicarakan hanya
seputar pekerjaan yang kami emban bersama sebagai satu tim.
Acara kegiatan
puncak dies natalis akhirnya selesai sudah dan berjalan dengan lancar dan
tentunya sukses. Aku merasa bangga menjadi bagian dari panitia dies natalis
ini. Pengalaman yang sungguh menyenangkan, tidak sia-sia kuhabiskan waktuku
selepas masa kuliah dengan rapat-rapat-dan rapat. Tidak sia-sia semua tenaga
yang telah tercurahkan selama hampir 2 minggu ini.
"Aku seneng
banget deh Lis akhirnya acaranya sukses banget..." kataku pada Lisa seusai
acara dies natalis.
"Iya keren
banget May. Mana bintang tamu pengisi acaranya keren-keren gitu. Puaslah aku
sebagai mahasiwa universitas ini menikmatinya. Haha..."
"Jelas
lah...kerja keras panitia nih...."
"Iya deh iya
yang panitia...." kamipun tertawa.
Tiba-tiba Putra
datang menghampiriku dan Lisa. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
"Terimakasih ya
atas kerjasamanya. Acara kita sukses besar May..."
Aku terdiam sejenak
lalu menjabat tangan Putra. Aku tersenyum. "Iya Put alhamdulillah..."
"Engg..yaudah
deh May aku pulang dulu ya. Dah May, Dah Lis..." Putra langsung pergi
meninggalkan aku dan Lisa.
"May....demi
apa si Putra ya dateng-dateng cuma mau megang tanganmu aja pakai modus bilang
terimakasih gitu...
"Apaan sih
Lis...mulai deh.." Aku memandang ke arah Putra berjalan. Sudah berapa lama
ya Put kita saling berjauhan seperti ini. Aku lalu tersenyum.
***
Nikmat sekali
rasanya menikmati segelas milktea di siang yang sangat terik. Saat ini aku dan
Lisa tengah duduk di foodcourt kampus selepas kuliah berakhir. Lisa nampak
asyik menikmati semangkuk es buahnya. Aku tertawa melihat Lisa yang nampak
seperti orang kesetanan menikmati es buahnya.
"Yaelah non
santai aja kali..kaya orang gak pernah makan es buah aja..." ledekku.
"Aduh May kamu
gak tau sih gimana rasanya tadi abis presentasi men. Ngoceh mulu ini mulut
sampai kering..." Lisa masih melahap es buahnya.
"Kasian yang
habis presentasi...sok dinikmatin lah es buahnya..." aku tertawa lalu
menyeruput milkteaku.
Aku mengedarkan
pandanganku. Rasanya ingin aku beli semua menu yang ada di foodcourt, apalagi
esnya. Cuaca yang terik seperti ini membuat aku lapar mata akan minuman dan
makanan yang ada di foodcourt ini. Keasyikanku terganggu saat Lisa menepuk
tanganku.
"May....si Ina
menuju ke arah kita..."
Aku menoleh ke arah
belakang dan benar saja Ina dengan wajah sumringah berlari menghampiri meja
tempatku dan Lisa. Ina langsung memelukku.
"Maya kamu
kemana aja sih? Kangen..." Ina langsung duduk di sampingku. Aku hanya
membalas pertanyaannya dengan tersenyum. Semenjak kejadian di lapangan futsal
tiga bulan yang lalu aku tidak pernah bertemu dengan Ina. Lebih tepatnya aku
menghindari Ina dan Putra.
"Apa kabar
kamu, May?" tanya Ina lagi.
"Alhamdulillah
baik. Kamu gimana In?" aku berusaha untuk bersikap sewajarnya agar tak
terlihat canggung di hadapan Ina.
"Kamu ini aku
cariin lho, tapi susah banget ketemunya.. Kamu gimana kabarnya sama Putra?
Langgeng-langgeng aja kan?" pertanyaan Ina menyodok hatiku. Aku menatap
Lisa, namun Lisa justru menunjukkan eskpresi kaget.
"Maksud kamu
In?"
"Loh kamu gak
pacaran sama Putra?"
"Aku gak ngerti
maksud kamu deh In..."
Aku menatap Ina
tajam. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu, padahal tiga bulan yang lalu ia
meminta lebih tepatnya memohon kepadaku untuk mempertemukannya pada Putra. Tiga
bulan yang lalu pula Ina sudah memaksaku untuk menutup hati dengan cara
mengalah demi dia, demi perasaannya yang bersalah pada Putra. Tiga bulan aku
menutup hati,pikiran,telinga,dan mata untuk Ina dan Putra, aku hanya tak ingin
aku semakin terluka jikalau ada kabar bahagia tentang mereka berdua. Lalu
setalah tiga bulan berlalu, Ina datang begitu saja dan menanyakan hal seperti
itu. Aku tak tau mengapa Ia bertanya tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Lisa
melihatku yang nampak tak karuan langsung angkat bicara.
"Ina maaf ya
aku ikut campur urusan kalian. Tapi In bukannya tiga bulan yang lalu kamu
meminta Maya untuk mempertemukan kamu dengan Putra? Kamu yang bilang
sendiri pada Maya kalau kamu masih
sayang sama Putra kan? Bukankah tiga bulan yang lalu tentu kamu sudah bisa
mengambil kembali hati Putra yang kamu
sayangi itu? Kenapa kamu tiba-tiba datang dan menanyakan Maya tentang
hubungannya dengan Putra?"
Ina menatapku dalam.
Ia meraih tanganku.
"Maya maafkan
aku..." ucapnya. Entah mengapa ucapan maaf dari Ina justru membuat luka
lama itu terbuka kembali.
"Maya kalau
kamu tau kejadian tiga bulan yang lalu...."
Aku menatap Ina,lalu
melepaskan tangannya. "Sudah In..aku tidak mau mendengarkan apa yang
terjadi tiga bulan yang lalu dan kamu juga gak usah minta maaf sama aku.."
Aku segera meraih
tangan Lisa untuk beranjak pergi dari
meja kami. Tapi Ina menarik tanganku sambil memohon agar aku mau
mendengarkannya. Lisa pun menenangkanku sambil memberi isyarat agar aku
menuruti permintaan Ina.
"Putra itu
sayang banget sama kamu May.. Kamu tau apa yang terjadi tiga bulan yang lalu
saat kamu mempertemukanku dengan Putra?"
Aku terdiam. Ina
lalu melanjutkan kalimatnya. "Sewaktu kamu pergi meninggalkan lapangan,
Putra hendak mengejarmu namun aku mencegahnya..aku lalu mengatakan padanya
bahwa aku merasa bersalah dan ingin meminta maaf padanya...kamu tau apa yang
dia katakan padaku,May?"
Aku masih terdiam
sambil menggeleng pada Ina.
"Ia mengatakan
bahwa ia sudah memaafkanku dan ini kata-kata yang menyadarkanku bahwa aku
memang gak pantas lagi buat Putra, udah gak pantas lagi menyanyangi
Putra.."
Ina menghembuskan nafasnya. "Ia
mengatakan seperti ini : In, kamu kenapa ada di sini di saat semuanya udah
berubah. Kamu tau In, kamu adalah orang yang membuatku hatiku tertutup untuk
siapapun, termasuk untuk kamu In. Hatiku udah tertutup rapat buat kamu. Jangan
kamu kira setelah ini hatiku bakalan terbuka untuk kamu, jangan harap In.. Kamu
tau In orang yang udah berhasil membuka pintu hatiku yang selama ini tetutup
rapat itu siapa? Maya ! Maya yang berhasil meyakinkan hatiku untuk terbuka
lagi.. Kalau dengan kehadiranmu justru membuat Maya pergi aku justru tidak akan
mau memaafkanmu In. Pergilah...."
Aku tercengang
mendengar perkataan Ina. Air mata yang sedari tadi tertahan di sudut mataku
akhirnya jatuh juga. Ina memelukku mengelus punggungku pelan. Aku tak bisa
berkata apa-apa,hanya bisa membiarkan tetes demi tetes air mata itu membasahi
wajahku.
***
Lisa masih duduk di
sampingku. Aku sedari tadi masih membenamkan wajahku di kasur. Lisa mengelus
punggungku pelan.
"May, udahlah
jangan nangis terus. Kalau kamu nangis gitu aku ikutan sedih loh.."
Aku membalikkan
badanku.
"Aku cuma
nyesel aja Lis. Aku nurutin egoku jadinya kan kaya gini.."
"udah May,
jangan nyalahin diri sendiri terus menerus. Semuanya udah terjadi kan, toh kamu
udah tau gimana perasaan Putra yang sebenarnya... Kamu bisa mulai dari awal
lagi kan, coba deketin dia lagi.."
"Tapi Lis, itu
tiga bulan yang lalu. Aku ragu perasaan Putra masih sama dengan tiga bulan yang
lalu apa enggak..mungkin dia uah benci sama aku, mungkin juga dia udah gak
punya rasa sama aku.."
"Yaudah deh
May. Kayanya kamu butuh waktu buat sendiri. Aku balik ke kamar dulu ya..."
"Makasih ya
Lis..."Lisa tersenyum lalu beranjak keluar dari kamarku.
Ya Tuhan,apa yang
kini harus kulakukan. Aku tidak menyangka semuanya akan seperti ini. Harusnya
aku tidak menuruti egoku, seharusnya aku tidak mengambil keputusan sendiri
tanpa mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Jujur saja, sampai saat ini
setelah tiga bulan berlalu aku belum bisa benar-benar melupakan Putra, apalagi
saat aku menatap kalung pemberiannya.
Tiba-tiba terdengar
lagu Payphone-nya Maroon 5. Ponselku berbunyi, tandanya ada pesan masuk. Aku
meraih tasku, mencari ponselku. Setelah aku liat ternyata pesan dari operator,
duh miris.
"Apaan
nih?" ucapku saat menemukan amplop bewarna ungu bertuliskan UNTUK MAYA,
aku yang penasaran pun kemudian membuka surat itu.
***
Aku menimang-nimang
surat itu sambil mengedarkan pandanganku sekeliling. Aku sudah tiga puluh menit
berdiri di taman fakultas namun aku tak melihat sosok Putra sama sekali.
Aku pun menuju
lapangan futsal, namun lapangan itu sepi. Putra, kamu dimana sih? Aku sudah tak
tahu lagi harus mencarinya kemana.
"Putra!"
aku berseru ketika kulihat Putra berjalan menuju ke lapangan bersama
teman-temannya.
Putra terlihat kaget
saat aku berlari menghampirinya. Dejavu! Tiga bulan yang lalu di lapangan
futsal ini aku menghampirinya dan....ah sudahlah tidak perlu kurunut lagi kan
peristiwa tiga bulan yang lalu?
"eh, ada apa
May?" Putra menyunggingkan senyumnya. Raut wajahnya berubah saat ia
melihat amplop ungu yang aku bawa sedari tadi.
"Jadi kamu
sudah baca May?"
"Iya
Put.."
"Bagus deh.
Yaudah aku latihan dulu ya..."
"Put,
tunggu..." aku menarik tangannya.
"Ada apa
May?"
"Aku boleh
minta tolong gak?"
"Minta tolong
apa?"
Aku merogoh saku
celanaku. "Bisa tolong pakein ini?" aku memberikan kalung kunci
pemberiannya dulu. Putra terdiam menatap kalung itu. Ia lalu menatapku.
"Bisa kan Put?
Pasangin sih...kalung ini soalnya berarti banget buat aku..sama berartinya
dengan orang yang udah kasih kalung ini ke aku...."
Senyuman mengembang
di wajah Putra. Tiba-tiba Putra memelukku. "Aku tahu kamu tidak
benar-benar akan pergi dariku,May..."
Aku membalas pelukan
Putra sambil tersenyum dan menatap amplop ungu yang daritadi belum kulepaskan.
Entah apa yang akan tejadi jika aku tidak menerima surat yang ada di
dalam amplop itu, mungkin aku sudah kehilangan Putra untuk selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar