CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

9 Februari 2014

Surat Ungkapan Hati

Langkahku terhenti saat memasuki ruangan itu. Mataku membulat saat melihat dia juga ada di ruangan yang sama. Aku menjadi ragu melangkahkan kakiku. Aku berusaha memberanikan diri karena aku tak mau melewatkan kesempatanku menjadi bagian dari event terbesar di kampusku saat ini.
"Permisi......" ucapku pada seisi ruangan. Semua menoleh padaku. Aku segera mengedarkan pandanganku ke seisi ruangan dan sial, kursi yang tersisa tinggal kursi di sebelahnya persis. Aku segera menduduki kursi itu. Dia yang sedari tadi nampak asyik mengobrol dengan teman sebelahnya mulai menyadari kehadiranku. Wajahnya terlihat kaget saat tau orang yang telah duduk di sebelahnya adalah aku.
"Eh...kok kamu di sini?" tanyanya membuka pembicaraan.
"Menurutmu?" jawabku ketus tanpa membalas tatapannya. Ia hanya tersenyum.
Sepanjang rapat berjalan kami terdiam satu sama lain. Tapi aku merasa sepanjang itu pula dia memerhatikanku. Sempat aku memergokinya memandangiku lekat-lekat lalu ia langsung berpura-pura melihat ke arah yang lain. Aih, ingin rasanya aku segera keluar dari ruangan ini.

***
"Cieeee yang jadi panitia dies natalis kampuuuuuus udah pulang nih..." Lisa, teman satu kosku yang juga teman satu kampusku menyambutku saat aku tiba di kos.
"Lebay ih kamu Lis..." aku melempar tas ke salah satu sudut kamarku. Lalu kurebahkan tubuhku yang lelah di atas kasur.
"Eits..sensi amat... Gimana tadi rapatnya?" tanya Lisa yang kini ikut-ikutan merebahkan tubuhnya di kasurku.
"Ada kejutan..." jawabku asal.
"Maksudmu?"
"Aku satu tim sama Putra..."
Mata Lisa langsung terbelalak. Ia bangkit lalu mengguncang-guncangkan bahuku. "Hah serius kamu May? Oh my God....CLBK nih hahahahahahahahahahahaha"
"Heh gak usah pakai mengguncang bahu aku deh Lis..maksud kamu CLBK apa? Aku aja gak pernah jadian sama dia.." aku menyenderkan tubuhku ke tembok sambil memalingkan muka.
"Eh bukan Cinta Lama Bersemi Kembali coy,tapi Cinta Lama Belum Kelar wahahahahaha" Lisa tertawa puas.  Aku hanya terdiam lalu melototinya.

***
Lagu Officially Missing You dari Tamia mengalun pelan di telingaku. Entah mengapa lagu itu membuat ingatanku kembali ke masa awal aku masuk kampus, menjadi mahasiswa baru. Aku masih ingat saat itu ada seorang mahasiswa baru yang sangat pendiam di kelasku. Aku yang merasa penasaran lalu berusaha mendekatinya, aku berusaha mencari tau bagaimana dia sebenarnya. Awalnya sangat sulit untuk membuatnya berbicara tapi lama kelamaan akhirnya aku mulai sering mendengarnya bicara bahkan menertawai leluconku yang garing. Sejak saat itu dia mulai berbeda, bukan lagi mahasiswa baru yang pendiam dan tertutup dengan orang lain.
Aku menghembuskan nafasku pelan. Lalu mulai memutar memori yang lain. Dia menjadi salah satu teman yang saat itu benar-benar dekat denganku. Tiada hari tanpa pesan-pesan singkatnya yang selalu memenuhi inboxku. Tiada malam yang terlewati tanpa celotehannya di ujung telepon. Sejujurnya aku rindu saat-saat itu, tapi apa daya semuanya telah berubah. Aku menjatuhkan mataku pada kalung berbentuk kunci yang kugantungkan dekat kaca kamarku. Aku tidak pernah memakai kalung itu sekalipun, aku membiarkannya tergantung disitu sejak pertama kali kalung itu diberikan kepadaku.


"May kalau aku kasih kamu sesuatu ,bakalan kamu  terima gak?"
"Eh kok tanyanya gitu? Ya aku terima lah...pemberian orang mana mungkin aku tolak, gak sopan itu namanya. Emang kamu mau ngasih apaan?"
"Tapi beneran lho  diterima.."
"Iya-iya udah sih mana? Bikin penasaran aja sih..."
"Tutup matanya dulu dong...."
"Ah enggak mau...kaya apa aja sih tutup mata segala..."
"Biar seru lah, biar surprise gitu."
"Pengen banget emang? Aku  gak usah tutup mata..nanti ceritanya aku pura-pura kaget aja ya.."
"Emang dasar kamu ya May...Nih.."
Seuntai kalung berbentuk kunci ada di depan mataku. Aku menerimanya.
"Kok kayaknya ini kayak kalung couple gitu ya?"
"Emang iya May. Ini aku bawa pasangannya..." Ia menunjukkan kalung dengan bandul berbentuk gembok.
"Ini maksudnya apa? Berasa kayak anak SMP yang lagi ngerti cinta-cintaan aja terus pakai kalung couple-an segala. Haha.."
"Bukan gitu May. Ini ada maksudnya...." Ia menatapku serius. "Ini karena cuma kamu satu-satunya yang bisa ngerubah aku, kamu yang bisa buat aku jadi berani menghadapi situasi yang baru bagi aku May...kamu satu-satunya yang bisa ngebuka pintu hati aku yang tertutup selama ini buat siapapun...."
"Put...." Saat itu aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya terdiam saat Ia memegang kedua tanganku.
"May, aku nyaman banget sama kamu karena saat aku ada di sisi kamu saat itulah aku bisa bener-bener jadi aku apa adanya..Aku sayang kamu May.."
"Makasih Put. Aku..aku gak tau harus ngomong apa.."
"Kalau kamu emang ngerasain hal yang sama kaya aku, lusa waktu aku tanding futsal kamu pakai kalungnya, tapi kalau enggak ya kamu gak usah pakai kalungnya..."

Aku  terlampau senang saat Putra memberikan kalung itu dan mengungkapkan tentang perasaanya. Tapi semuanya harus sirna karena sehari sebelum hari itu datang....

"May kamu kenal Putra?" tanya Ina. Teman semasa kecilku yang fakultasnya ada di seberang fakultasku.
"Iya kenal lah,sefakultas juga. Kok kamu bisa kenal dia In?"
"Iya kenal lah..." tiba-tiba raut muka Ina berubah.
"In kamu kenapa?"
"Aku...." suara Ina berubah serak.
"In, kok muka kamu jadi sedih gitu. Ada apa? Sini cerita sama aku..." kataku sambil mengelus punggung tangannya.
"Aku ngerasa bersalah sama Putra....aku nyesel waktu itu udah nyakitin hatinya dia,May..."
"In..jangan bilang kalau kamu sama dia..?"
"Aku dulu sama Putra pacaran May, kita putus gara-gara aku selingkuh sama temennya.."
Aku menutup mulutku,aku tercengang dengan semua perkataan Ina.
"Aku denger semenjak itu dia jadi pendiem..aku salah May udah ngecewain dia,cowok yang bener-bener tulus sama aku...ternyata hubungan aku dengan temennya gak seharmonis hubungan aku sama Putra...dia gak sebaik dan gak selembut Putra...aku nyesel May...."
"Kamu kapan putus sama Putra,In?"
"Sebelum  kita ujian masuk universitas May...Aku seneng banget May waktu tau kita satu universitas dan aku dapet pencerahan waktu aku tahu kamu juga masuk satu fakultas yang sama dengan Putra..."

Aku tak bisa berkata-kata saat itu. Apalagi saat Ina memintaku membantunya untuk bertemu dengan Putra. Ina mengatakan ia ingin meminta maaf dengan Putra. Ina juga bilang sampai saat ini ia masih sayang sama Putra.
Saat hari pertandingan tiba, aku mengajak Ina turut serta. Setelah pertandingan usai dengan kemenangan telak tim fakultasku,aku turun menuju bangku pemain sambil membawa Ina di belakangmu. Aku masih ingat betul wajah Putra nampak sumringah dari kejauhan ketika aku berjalan menghampirinya. Wajahnya berubah seketika saat melihat kalung pemberiannya tidak melingkar di leherku.
"May...."
"Engg...Put. Ini ada orang yang mau ketemu sama kamu..." aku langsung menggiring Ina menuju ke hadapan Putra. Putra nampak kaget saat itu.
"Halo, Put...." Ina menyapa Putra dengan sedikit canggung.
"Ya udah aku tinggal dulu ya kalian berdua..." aku langsung meninggalkan mereka berdua. Putra sempat memanggilku tapi aku tak menghiraukannya. Aku segera berlari keluar dari lapangan. Aku lalu mencabut kalung berbentuk kunci itu yang sedari tadi aku lingkarkan pada resleting tasku. 
Hatiku hancur saat itu. Memang benar apa kata orang, dimana ada kebahagiaan pasti juga diiringi dengan kesedihan. Ya seperti yang aku alami saat itu.
Aku sudah menutup kenangan itu selama berbulan-bulan. Tapi secara tiba-tiba kenangan itu menyeruak, membuka luka lama yang sudah sembuh. Kalau saja hari ini aku tidak bertemu Putra, mungkin kenangan itu tidak akan terbuka lagi.

***
Keadaan memaksaku untuk lebih sering bertemu dan berhadapan dengan Putra. Acara dies natalis ini lah yang berhasil mencairkan kebekuan yang terjadi padaku dan Putra. Selama menjadi panitia memang tak jarang aku berkomunikasi dengan Putra, tapi semua itu aku lakukan hanya sebatas profesionalitas dan yang kami bicarakan hanya seputar pekerjaan yang kami emban bersama sebagai satu tim.
Acara kegiatan puncak dies natalis akhirnya selesai sudah dan berjalan dengan lancar dan tentunya sukses. Aku merasa bangga menjadi bagian dari panitia dies natalis ini. Pengalaman yang sungguh menyenangkan, tidak sia-sia kuhabiskan waktuku selepas masa kuliah dengan rapat-rapat-dan rapat. Tidak sia-sia semua tenaga yang telah tercurahkan selama hampir 2 minggu ini.

"Aku seneng banget deh Lis akhirnya acaranya sukses banget..." kataku pada Lisa seusai acara dies natalis.
"Iya keren banget May. Mana bintang tamu pengisi acaranya keren-keren gitu. Puaslah aku sebagai mahasiwa universitas ini menikmatinya. Haha..."
"Jelas lah...kerja keras panitia nih...."
"Iya deh iya yang panitia...." kamipun tertawa.

Tiba-tiba Putra datang menghampiriku dan Lisa. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
"Terimakasih ya atas kerjasamanya. Acara kita sukses besar May..."
Aku terdiam sejenak lalu menjabat tangan Putra. Aku tersenyum. "Iya Put alhamdulillah..."
"Engg..yaudah deh May aku pulang dulu ya. Dah May, Dah Lis..." Putra langsung pergi meninggalkan aku dan Lisa.
"May....demi apa si Putra ya dateng-dateng cuma mau megang tanganmu aja pakai modus bilang terimakasih gitu...
"Apaan sih Lis...mulai deh.." Aku memandang ke arah Putra berjalan. Sudah berapa lama ya Put kita saling berjauhan seperti ini. Aku lalu tersenyum.

***
Nikmat sekali rasanya menikmati segelas milktea di siang yang sangat terik. Saat ini aku dan Lisa tengah duduk di foodcourt kampus selepas kuliah berakhir. Lisa nampak asyik menikmati semangkuk es buahnya. Aku tertawa melihat Lisa yang nampak seperti orang kesetanan menikmati es buahnya.
"Yaelah non santai aja kali..kaya orang gak pernah makan es buah aja..." ledekku.
"Aduh May kamu gak tau sih gimana rasanya tadi abis presentasi men. Ngoceh mulu ini mulut sampai kering..." Lisa masih melahap es buahnya.
"Kasian yang habis presentasi...sok dinikmatin lah es buahnya..." aku tertawa lalu menyeruput milkteaku.
Aku mengedarkan pandanganku. Rasanya ingin aku beli semua menu yang ada di foodcourt, apalagi esnya. Cuaca yang terik seperti ini membuat aku lapar mata akan minuman dan makanan yang ada di foodcourt ini. Keasyikanku terganggu saat Lisa menepuk tanganku.
"May....si Ina menuju ke arah kita..."

Aku menoleh ke arah belakang dan benar saja Ina dengan wajah sumringah berlari menghampiri meja tempatku dan Lisa. Ina langsung memelukku.

"Maya kamu kemana aja sih? Kangen..." Ina langsung duduk di sampingku. Aku hanya membalas pertanyaannya dengan tersenyum. Semenjak kejadian di lapangan futsal tiga bulan yang lalu aku tidak pernah bertemu dengan Ina. Lebih tepatnya aku menghindari Ina dan Putra.
"Apa kabar kamu, May?" tanya Ina lagi.
"Alhamdulillah baik. Kamu gimana In?" aku berusaha untuk bersikap sewajarnya agar tak terlihat canggung di hadapan Ina.
"Kamu ini aku cariin lho, tapi susah banget ketemunya.. Kamu gimana kabarnya sama Putra? Langgeng-langgeng aja kan?" pertanyaan Ina menyodok hatiku. Aku menatap Lisa, namun Lisa justru menunjukkan eskpresi kaget.
"Maksud kamu In?"
"Loh kamu gak pacaran sama Putra?"
"Aku gak ngerti maksud kamu deh In..."

Aku menatap Ina tajam. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu, padahal tiga bulan yang lalu ia meminta lebih tepatnya memohon kepadaku untuk mempertemukannya pada Putra. Tiga bulan yang lalu pula Ina sudah memaksaku untuk menutup hati dengan cara mengalah demi dia, demi perasaannya yang bersalah pada Putra. Tiga bulan aku menutup hati,pikiran,telinga,dan mata untuk Ina dan Putra, aku hanya tak ingin aku semakin terluka jikalau ada kabar bahagia tentang mereka berdua. Lalu setalah tiga bulan berlalu, Ina datang begitu saja dan menanyakan hal seperti itu. Aku tak tau mengapa Ia bertanya tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Lisa melihatku yang nampak tak karuan langsung angkat bicara.

"Ina maaf ya aku ikut campur urusan kalian. Tapi In bukannya tiga bulan yang lalu kamu meminta Maya untuk mempertemukan kamu dengan Putra? Kamu yang bilang sendiri  pada Maya kalau kamu masih sayang sama Putra kan? Bukankah tiga bulan yang lalu tentu kamu sudah bisa mengambil kembali hati Putra  yang kamu sayangi itu? Kenapa kamu tiba-tiba datang dan menanyakan Maya tentang hubungannya dengan Putra?"
Ina menatapku dalam. Ia meraih tanganku.
"Maya maafkan aku..." ucapnya. Entah mengapa ucapan maaf dari Ina justru membuat luka lama itu terbuka kembali.
"Maya kalau kamu tau kejadian tiga bulan yang lalu...."
Aku menatap Ina,lalu melepaskan tangannya. "Sudah In..aku tidak mau mendengarkan apa yang terjadi tiga bulan yang lalu dan kamu juga gak usah minta maaf sama aku.."
Aku segera meraih tangan Lisa untuk beranjak pergi  dari meja kami. Tapi Ina menarik tanganku sambil memohon agar aku mau mendengarkannya. Lisa pun menenangkanku sambil memberi isyarat agar aku menuruti permintaan Ina.
"Putra itu sayang banget sama kamu May.. Kamu tau apa yang terjadi tiga bulan yang lalu saat kamu mempertemukanku dengan Putra?"
Aku terdiam. Ina lalu melanjutkan kalimatnya. "Sewaktu kamu pergi meninggalkan lapangan, Putra hendak mengejarmu namun aku mencegahnya..aku lalu mengatakan padanya bahwa aku merasa bersalah dan ingin meminta maaf padanya...kamu tau apa yang dia katakan padaku,May?"
Aku masih terdiam sambil menggeleng pada Ina.
"Ia mengatakan bahwa ia sudah memaafkanku dan ini kata-kata yang menyadarkanku bahwa aku memang gak pantas lagi buat Putra, udah gak pantas lagi menyanyangi Putra.."
 Ina menghembuskan nafasnya. "Ia mengatakan seperti ini : In, kamu kenapa ada di sini di saat semuanya udah berubah. Kamu tau In, kamu adalah orang yang membuatku hatiku tertutup untuk siapapun, termasuk untuk kamu In. Hatiku udah tertutup rapat buat kamu. Jangan kamu kira setelah ini hatiku bakalan terbuka untuk kamu, jangan harap In.. Kamu tau In orang yang udah berhasil membuka pintu hatiku yang selama ini tetutup rapat itu siapa? Maya ! Maya yang berhasil meyakinkan hatiku untuk terbuka lagi.. Kalau dengan kehadiranmu justru membuat Maya pergi aku justru tidak akan mau memaafkanmu In. Pergilah...."
Aku tercengang mendengar perkataan Ina. Air mata yang sedari tadi tertahan di sudut mataku akhirnya jatuh juga. Ina memelukku mengelus punggungku pelan. Aku tak bisa berkata apa-apa,hanya bisa membiarkan tetes demi tetes air mata itu membasahi wajahku.

***
Lisa masih duduk di sampingku. Aku sedari tadi masih membenamkan wajahku di kasur. Lisa mengelus punggungku pelan.
"May, udahlah jangan nangis terus. Kalau kamu nangis gitu aku ikutan sedih loh.."
Aku membalikkan badanku.
"Aku cuma nyesel aja Lis. Aku nurutin egoku jadinya kan kaya gini.."
"udah May, jangan nyalahin diri sendiri terus menerus. Semuanya udah terjadi kan, toh kamu udah tau gimana perasaan Putra yang sebenarnya... Kamu bisa mulai dari awal lagi kan, coba deketin dia lagi.."
"Tapi Lis, itu tiga bulan yang lalu. Aku ragu perasaan Putra masih sama dengan tiga bulan yang lalu apa enggak..mungkin dia uah benci sama aku, mungkin juga dia udah gak punya rasa sama aku.."
"Yaudah deh May. Kayanya kamu butuh waktu buat sendiri. Aku balik ke kamar dulu ya..."
"Makasih ya Lis..."Lisa tersenyum lalu beranjak keluar dari kamarku.
Ya Tuhan,apa yang kini harus kulakukan. Aku tidak menyangka semuanya akan seperti ini. Harusnya aku tidak menuruti egoku, seharusnya aku tidak mengambil keputusan sendiri tanpa mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Jujur saja, sampai saat ini setelah tiga bulan berlalu aku belum bisa benar-benar melupakan Putra, apalagi saat aku menatap kalung pemberiannya.
Tiba-tiba terdengar lagu Payphone-nya Maroon 5. Ponselku berbunyi, tandanya ada pesan masuk. Aku meraih tasku, mencari ponselku. Setelah aku liat ternyata pesan dari operator, duh miris.
"Apaan nih?" ucapku saat menemukan amplop bewarna ungu bertuliskan UNTUK MAYA, aku yang penasaran pun kemudian membuka surat itu.




***

Aku menimang-nimang surat itu sambil mengedarkan pandanganku sekeliling. Aku sudah tiga puluh menit berdiri di taman fakultas namun aku tak melihat sosok Putra sama sekali.
Aku pun menuju lapangan futsal, namun lapangan itu sepi. Putra, kamu dimana sih? Aku sudah tak tahu lagi harus mencarinya kemana.
"Putra!" aku berseru ketika kulihat Putra berjalan menuju ke lapangan bersama teman-temannya.
Putra terlihat kaget saat aku berlari menghampirinya. Dejavu! Tiga bulan yang lalu di lapangan futsal ini aku menghampirinya dan....ah sudahlah tidak perlu kurunut lagi kan peristiwa tiga bulan yang lalu?
"eh, ada apa May?" Putra menyunggingkan senyumnya. Raut wajahnya berubah saat ia melihat amplop ungu yang aku bawa sedari tadi.
"Jadi kamu sudah baca May?"
"Iya Put.."
"Bagus deh. Yaudah aku latihan dulu ya..."
"Put, tunggu..." aku menarik tangannya.
"Ada apa May?"
"Aku boleh minta tolong gak?"
"Minta tolong apa?"
Aku merogoh saku celanaku. "Bisa tolong pakein ini?" aku memberikan kalung kunci pemberiannya dulu. Putra terdiam menatap kalung itu. Ia lalu menatapku.
"Bisa kan Put? Pasangin sih...kalung ini soalnya berarti banget buat aku..sama berartinya dengan orang yang udah kasih kalung ini ke aku...."
Senyuman mengembang di wajah Putra. Tiba-tiba Putra memelukku. "Aku tahu kamu tidak benar-benar akan pergi dariku,May..."

Aku membalas pelukan Putra sambil tersenyum dan menatap amplop ungu yang daritadi belum kulepaskan. Entah apa yang akan tejadi jika aku tidak menerima surat yang ada di dalam amplop itu, mungkin aku sudah kehilangan Putra untuk selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar