Aku menatapnya lemah
dengan butiran air mata yang masih membasahi pipiku. Dia, lelaki yang sangat
aku cintai, sangat aku kasihi. Sungguh aku tak ingin kehilangan dia sedetikpun.
Lelaki itu bernama
Niko. Niko koma beberapa hari yang lalu karena kecelakaan . Aku takut dia gagar
otak dan aku takut jika dia melupakanku. Ini sudah hampir seminggu ia tertidur
dalam komanya,dan sudah seminggu pula mataku terus membengkak menangisinya.
Dia memang bukan
kekasihku, kami hanya teman. Yah dia menganggapku teman baiknya, sahabatnya.
Tapi aku mencintainya lebih dari sahabat.
Aku terbangun. Aku
tersentak ketika kulihat Niko mulai bergerak di kasurnya. Niko berusaha membuka
matanya, tatapannya lelah. Ia memandang lurus ke atap. Aku menangis, aku
menggenggam kedua tangannya. Ia menatapku.
"Viaaaa.."
suaranya lemah. Aku bersyukur dia masih mengingatku. Aku membalas dengan
memanggil namanya.
"Niko...kamu
sudah sadar? Niko aku senang sekali, cepat sembuh Nik..agar kita bisa
bersama-sama lagi..".
Niko diam. Ia lalu
berusaha meraih dan menggenggam tanganku. Dengan susah payah ia
berkata,"Via, maafkan aku.."
"Maaf atas apa
Nik? Tak ada yang perlu meminta maaf" aku kaget.
"Maaf karena aku
tak memahami kamu, memahami hati dan perasaanmu"
"Apa maksudmu
Nik?"
Niko tersenyum. Ia
menghela nafas, tangannya semakin dingin dan wajahnya semakin pucat.
"Aku mencintaimu
Vi... Aku mencintaimu lebih dari seorang sahabat.. Aku ingin kau selalu berada
di sampingku, mendampingiku.. Maaf aku tak mengatakannya dari dulu, aku tak
punya cukup keberanian untuk mengatakan ini ... Tapi sungguh Vi, kau adalah wanita
yang sangat ku kasihi setelah ibuku..."
Aku kaget. Butiran
air mataku semakin deras. Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi inilah yang
kunanti selama ini, ternyata dia merasa apa yang kurasa.
"Aku juga
mencintaimu Nik.. Cepat sembuh, aku tak mau melewati hariku jika tak ada
kamu"
Niko mengembangkan
senyum ditengah pucat pasi wajahnya. Tiba-tiba ia memintaku untuk mendekat
padanya. Tak kusangka ia mencium pipiku, lembut.
"Peluk aku Vi,
aku merasa dingin....." bisiknya. Aku langsung memeluknya erat.
"Aku mencintaimu
Via.....". Tak kusangka itu adalah kalimat terakhirnya, tiba-tiba
tangannya tergeletak lemas. Ia tertidur dengan senyuman untuk selamanya. Aku
tak kuasa menjerit menangis melihat hal itu.
***
Aku masih enggan
untuk meninggalkan tempat ini. Tempat dimana Niko terbaring untuk
selama-lamanya. Aku menatap batu nisan itu, mengelusnya pelan sambil terus
membajiri wajahku dengan air mata. "Niko kau tega, kenapa kau tinggalkan
aku? Bukankah kita saling mencintai? Bukankah kau ingin aku menjadi
pendampingmu? Bangun Niko bangun! " aku terus menjerit dalam hatiku.
Hatiku sesak. Aku tak berdaya, aku belum bisa menerima kepergian Niko yang
terlalu cepat.
***
Ini hujan kelima di
kampus setelah kepergian Niko. Aku menatap kosong pada butiran hujan yang
membasahi pekarangan kampusku. Aku menghembuskan nafasku yang terasa berat.
Terlalu banyak kenangan yang telah aku buat bersama Niko.
Tiba-tiba ada
seseorang yang menepukku pelan. Ah dia!
"kau masih
disini?" tanyanya.
"menurutmu?"
aku mendengus kesal. Dia hanya tersenyum.
"mau sampai
kapan kamu seperti ini Vi?"
"apa
urusanmu?"
"jika kau murung
dan bersedih, kasian Niko. Pasti disana dia juga sedih.."
Aku menoleh mendengar
pernyataannya. Ia menatapku dengan tatapan hangatnya yang daridulu tak pernah
berubah. Ia lalu memelukku, aku tak bisa menolak pelukannya.
"Terimakasih Rio...." ucapku sambil membenamkan
wajahku ke dadanya. Meski pelukannya tak sehangat Niko, tapi aku tak bisa
mengelak jika pelukannya begitu hangat untuk jiwaku yang saat ini dingin.
***
Tak terasa sudah
sebulan sejak kematian Niko dan aku
telah mengikhlaskan kepergiannya. Itu semua berkat Rio. Rio selalu menghiburku,
ia berusaha keras agar tak sedetikpun aku bersedih mengingat kepergian Niko.
Aku tau Rio memang pria yang baik, aku sudah cukup mengenalnya. Toh kita sudah
berteman sejak SMA. Dan sebenernya Rio menyukaiku, ia pernah menyatakan
perasannya saat di SMA dulu, tapi aku menolaknya. Aku kagum pada Rio, meskipun
aku menolak pernyataan cintanya, ia tidak lantas membenciku ataupun menjauhi,
yang terjadi adalah dia makin perhatian denganku.
Apalagi semenjak Niko
pergi, perhatiannya sungguh membuatku nyaman. Apakah mungkin aku mulai menyukai
Rio?
***
Hari ini hari ulang
tahunku yang ke-20. Rio menjanjikanku sebuah kejutan. Aku tak tau apa itu, dia
tak mau mengatakannya, ia hanya mengatakan agar aku bersiap-siap pukul 5 sore ,
karena ia akan menjemputku.
"Sudah siap
untuk kejutannya..?" Rio tersenyum. Jujur, malam ini dia tampak tampan
dengan setelan kemeja birunya.
"Tentu
saja.." sahutku membalas senyumnya. Aku menatap matanya, dan tanpa sadar
aku mulai menyukainya, mata coklat almondnya menyiratkan kehangatan.
"Ini
untukmu...." Aku kaget menerima sebuket mawar merah darinya.
"mawar merah
yang cantik, secantik dirimu Via....". Pipiku bersemu merah. Ah, Rio
memang pandai membuatku tersenyum.
***
Ternyata Rio
mengajakku ke bukit bintang. Bukit bintang selalu saja menawarkan keindahan
langitnya. Aku suka melihat gemerlap bintang yang bertebaran di antara hitamnya
langit malam.Tempat ini selalu saja membawa kenangan indah, tempat ini adalah
tempat kesukaanku dan Niko. Langit yang sama, bintang yang sama, namun kali ini
dengan orang yang berbeda. Aku tersenyum getir mengingat itu semua.
"Kamu
suka?" tanya Rio mebuyarkan lamunanku.
"Tentu saja,
terimakasih ya.. Aku sudah lama tidak kemari"
"Syukurlah kalau
kamu suka.."
"Iya, aku suka
gemerlap bintang itu"
"Ya, gemerlap
bintang memang indah Vi....seperti dirimu" . Aku menatap ke arah Rio. Ia
tersenyum dengan pandangan yang masih menatap indahnya langit.
Rio menoleh,
menatapku lembut.
"Sampai saat ini
perasaanku tidak pernah berubah ataupun berkurang Vi"
"Perasaan
apa?"
"Perasaanku kepadamu"
"Perasaanku kepadamu"
Aku terdiam. Aku tak
tau harus mengatakan apa. Tapi aku tak ingin Rio menunggu tanggapanku terlalu
lama.
"kenapa ri?
Kenapa kau mengatakan hal itu?"
Tiba-tiba Rio
memelukku dengan pelukannya yang tak
pernah bisa aku tolak.
"Karena aku
mencintaimu Vi..Aku ingin kau selalu berada di sampingku,
mendampingiku..ketahuilah Vi.. kau adalah wanita yang sangat ku kasihi setelah
ibuku..."
Tak terasa air mataku
tumpah. Kata-katanya persis dengan apa yang dikatakan oleh Niko. Jangan-jangan
pria yang saat ini memelukku adalah Niko, bukan Rio.
"kenapa kau
menangis?"
"kamu jahat
Niko!" . Pria itu, yang mengaku dirinya sebagai Rio melepaskan pelukannya.
"Apa maksudmu
Vi? Aku bukan Niko"
"Bohong kau
pasti Niko!"
"Vi kamu kenapa
sadar Vi sadar!" Pria itu mengguncang tubuhku pelan. Aku menatapnya dan
melihat sosoknya sebagai Niko. Aku memeluk pria yang saat ini di depanku, yang
kuyakini dia adalah Niko.
"Aku sudah tau,
kau pasti tidak benar-benar meninggalkanku Nik.. Aku tau. Aku juga mencintaimu
dan tetap akan mencintaimu.." nafasku memburu, tangisku tak terbendung
lagi.
Aku memeluk pria itu
makin lekat. Ia tak bergeming sama sekali. Aku terus membenamkan wajahku, ia
diam dan menunggu tangisku reda. Pria itu melepas pelukanku, ia menatapku lalu
dengan sapu tangan ia melap air mataku. Seketika wajah pria itu buka Niko lagi melainkan Rio.
Aku kaget. Rio menatapku berusaha menyunggingkan senyum yang aku tahu ia
paksakan.
"Aku tahu Vi
sampai kapanpun aku gak akan bisa menggantikan posisinya"
"Aku tahu Vi
kamu sangat mencintai dia kan? Sampai saat ini kamu masih dan akan tetap
mencintainya kan?"
Aku terdiam.
"maafkan aku Rio..."
Rio membuang mukanya.
Ia menatap ke langit sambil mendesahkan nafasnya.
"Aku tahu
sebesar apapun usahaku akan tetap susah meluluhkan hatimu. Akan sulit
menggantikan posisi Niko yang telah terukir dalam hatimu..."
"maafkan aku,
mungkin aku terlalu cepat mengatakan semua ini. Maafkan aku yang mungkin telah
membawamu ke dalam ingatan masa lalumu..."
Aku menatapnya pelan.
Aku merasa bersalah padanya.
"Maafkan aku Ri,
kamu memang benar aku belum melupakannya, dan memang benar jika perasaanku
belum berubah sejak dia pergi.."
Salahkah jika masih
terjebak dalam nostalgia-ku? Mungkin yang aku butuhkan saat ini adalah
kesendirian... Aku sungguh ingin menikmati dan mengenang masa-masa bersamanya.
0 komentar:
Posting Komentar